Pelantar.id – Beberapa waktu lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merekomendasikan kepada World Health Organization (WHO) untuk bisa meratifikasi ganja sebagai keperluan medis.

Hasil rekomendasi Komisi Obat dan Narkotika (CND) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah memindahkan ganja dari Golongan VI ke Golongan I.

Namun, pertanyataan tersebut tidak langsung bisa diterapkan diberbagai negara termasuk di Indonesia. Melalui Badan Narkotika Nasional (BNN) menegaskan melarang penggunaan ganja secara penuh.

“Di konvensi tersebut memberikan hak untuk negara-negara silakan mengatur sesuai negara-negara tersebut,” tutur Deputi Hukum dan Kerjasama BNN Puji Sarwono di Kantor BNN dikutip dari liputan6.com, Cawang, Jakarta Timur, Selasa (8/12/2020).

Puji menyebut, larangan penggunaan ganja merupakan keputusan dari pemikiran yang panjang. Pada 2015 lalu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam Hari Keluarga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki anugerah demografis yang perlu dijaga.

“Berdasarkan demografi, Indonesia ini diprediksi bahwa penduduk kita sekitar 297 juta kira-kira usia produktifnya 70 persen, artinya 200 juta lebih. Kekhawatirannya apakah demografi ini akan menjadi bencana atau anugerah bagi kita. Akan menjadi bencana kalau generasi muda tidak disiapkan dengan baik, akan menjadi bencana kalau usia produktif itu tidak berkualitas,” jelas dia.

Pertimbangan lainnya adalah bahwa kandungan Ganja di Indonesia berbeda dengan negara lain. Kandungan Cannabidiol (CBD) di dalamnya lebih rendah dibandingkan Tetrahydrocannabibol (THC) dan tentunya menyulitkan dalam peruntukan medis.

“CBD Itu zat aktif yang bisa digunakan untuk epilepsi. Tapi sekarang sudah dinyatakan tidak bisa mudah, serta merta mengambil CBD. Karena akan terbawa juga THC-nya, yang psikoaktif tadi. Nah di Indonesia kandungan THC-nya jauh lebih besar, CBD-nya kecil sekali. Jadi kesulitannya itu dan tidak sama kondisi alam Indonesia dengan negara lain,” Puji menandaskan.

 

liputan6