Pelantar.id – Resmi dua orang siswa di salah satu sekolah negeri di Kecamatan Sagulung, Batam untuk sementara waktu dikembalikan kepada orangtua mereka mengenai nasib pendidikan anaknya.

Dua siswa tersebut duduk di kelas 8 dan 9. Mereka dikembalikan karena menolak untuk hormat kepada bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya karena doktrin aliran kepercayaan yang dianut oleh kedua orangtuanya.

Mereka adalah anak-anak dari Saksi-saksi Yehova (Yehuwa) kelompok aliran kepercayaan minoritas yang dalam pernyataan Kasi Urusan Agama Kristen Kementrian Agama (Kemenag) Batam Pargaulan Simanjuntak keyakinan mereka terdaftar di Dirjenbimas Kristen Kemenag RI.

“Saksi Yehuwa itu di Dirjenbimas Kristen RI terdaftar dan ada turunannya di Kemanag dibidangi oleh Kasi Keagamaan Kristen,” ujar Pargaulan Simanjuntak, Rabu (27/11) ketika dihubungi via telefon.

Berdasarkan Hukum dan HAM, Pargaualan mengatakan di Kemenag mereka ada di bawah naungan Dirjenbimas Kristen Departemen Agama. Hanya saja Ia katakan memang perlu ada pemahaman khusus antara konteks menghormati atau menyebah terutama pada hal-hal yang berhubungan dengan simbol negara.

“Memang perlu adanya pembinaan dan hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman berkenegaraan, khususnya pendidikan. Perihal ini kami memang telah duduk bersama. Kita masih akan adakan pembinaan dalam rangka upaya agar tidak ada hal-hal yang tidak baik terjadi,” terangnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam, Hendri Arulan mengatakan, jika ada yang tidak mau mengikuti aturan dan ketentuan pendidikan maka kan menjadi bumerang bagi ratusan siswa yang lain, dan akan menjadi masalah dalam mendidik disiplin siswa.

“Jadi kalau seandainya tidak mau melakukan hormat pada bendera atau tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya, ini merupakan bagian dari pada melawan aturan berkewarganegaraan dan berkebangsaan,” ujar Hendri Arulan saat dikonfirmasi di lokasi sekolah, Senin (25/11).

Akhir dari permasalahan ini pada Jumat 29 November 2019, Poniman Sardi Kepala Sekolah tempat anak tersebut mengenyam bangku pendidikan resmi menyatakan kedua siswanya telah dikembalikan kepada orangtua mereka masing-masing.

Hal ini dipertimbangkan setelah proses mediasi persuasif dan pembinaan yang selama ini mereka lakukan tidak membuahkan hasil, alias gagal dalam menempa nasionalisme sang anak.

Sebelumnya disampaikan juga oleh Poniman melalui rapat bersama stakeholder terkait dari Dinas Pendidikan, Kemenag, KPPAD Batam, Dewan Pendidikan Batam, dan pewakilan TNI-Polri serta pihak keluarga.

Diberikan dua opsi alternatif terhadap nasib pendidikan sang anak. Opsi pertama adalah anak akan diskors selama 1 tahun dengan catatan nasionalisme sang anak akan ditempa di luar sekolah.

Opsi kedua, jika si anak masih ingin bertahan dengan keyakinan yang diwariskan oleh orangtuanya, maka disebutkan oleh Poniman sekolah akan mengembalikan mereka kepada orangtuanya.

“Dengan dimohon orangtua mengatarkan pendidikan si anak di luar SMP-nya sekarang seperti di sekolah non-formal. Bisa paket atau homeschooling,” terangnya.

Ketika opsi ini dibahas bersama para stakeholder dan pihak keluarga masih tidak ada kesepakatan baku yang dihasilkan karena orangtua tidak ingin menandatangani berita acara kesepakatan. Persoalan mengenai nasib pendidikan anak akhirnya dikatakan “menggantung“.

“Karena posisinya seperti ini maka pihak sekolah untuk sementara waktu mengembalikan sang anak kepada dua orangtuannya, sampai ada kejelasan resmi dari kedua orangtua terhadap dua opsi yang diberikan oleh pihak sekolah,” ujar Poniman.

FSGI dan KPPAD Hak-hak Pendidikan Anak Jangan Dihilangkan

Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) kota Batam, Abdillah, Jumat (29/11) dihari yang sama saat anak dikembalikan pada orangtuanya, berharap persoalan kasus ini tidak semata-mata langsung menghilangkan hak-hak pendidikan anak.

“Kami di sini menjalankan tupoksi untuk memberi pengawasan terhadap kasus ini, tepatnya agar hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan tidak dihilangkan,” ujarnya

Dengan tegas KPPAD mengimbau dan memberi anjuran dalam penangan kasus terhadap dua orang siswa ini agar tidak menimbulkan kerugian di pihak sang anak.

KPPAD akan tetap memfokuskan persoalan ini pada hak untuk mendapatkan akses pendidikan tetap ada, dan juga hak anak untuk bebas dalam berkeyakinan juga ada.

“Dalam konteks berkeyakinan ini mungkin persoalan yang sensitif, karena dalam aturan perundang-undangan selain haknya, si anak juga memiliki kewajiban patuh terhadap undang-undang yang berlalu di Republik Indonesia,” jelas Abdi.

Persoalan berkeyakinan yang seperti apa menurut Abdi memang belum dijelaskan secara detail oleh undang-undang, hanya saja dia menitikberatkan dalam hal ini wajib si anak memiliki kebebasan untuk berkeyakinan.

“Di luar itu si anak juga memiliki kewajiban. Kewajiban yang terutama banyak undang-undang mengaturnya baik peraturan dalam sekolah, bermasyarakat dan lain sebagainya (mengikat),” tutupnya.

Ketua Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah ( KPPAD) Provinsi Kepri Erry Syahrial juga tidak ingin ketinggalan dalam menanggapi kasus ini saat berjumpa beberapa waktu sebelumnya di sekolah, yaitu Senin (25/11).

Baginya anak tetap harus mendapatkan akses terhadap pendidikan, di tengah kencederungannya yang tidak bisa melakukan hormat pada bendera merah-putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya saat upacara bendera.

Akan tetapi kata Erry, seorang anak juga mempunyai kewajiban untuk mencitai tanah air, hormat kepada guru dan menjalankan kepercayaan sesuai syariat agama yang ada di Indonesia dan diakui negara.

Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriawan Salim melalui Tirto.id turut mengkritik penyelesaian dari kasus dua siswa yang menolak hormat bendera karena aliran kepercayaan orangtuanya ini.

Baginya pemerintah harus menjamin hak siswa itu setelah mereka (nantinya) dikeluarkan dari sekolah. Salah satu solusinya yakni memperkenankan siswa tersebut mengikuti sekolah mandiri (homeschooling) atau sekolah kejar paket.

“Artinya hak untuk mendapatkan pendidikan, karena hak untuk mendapat pendidikan merupakan hak asasi manusia yang ada di dalam UUD 1945, itu harus dipenuhi negara terhadap anak tersebut,” tandasnya.

Apa Itu Saksi Yehuwa?

Dieqy Hasbi Widhana dalam tulisan berjudul “Saksi-Saksi Yehuwa: Kristen tanpa Natal, Salib, Alkohol, dan Neraka” di laman Tirto.id menuliskan bahwa sebutan Yehuwa adalah sama dengan Yahweh atau YHWH.

Dituliskannya bahwa ini bukanlah agama orang Yahudi. Selanjutnya, ajaran ini disebutkan masuk ke Indonesia pada 1930 dan telah menyebar ke beberapa provinsi di Indonesia.

Pada tahun 2016 disebutkan kepercayaan ini memiliki jumlah sekitar 26.741 orang pengikut. Pusat organisasi Yehuva dikatakan terpusat di Brooklyn, New York, Amerika Serikat. Jemaatnya ada di 240 negara dengan pengikut sekitar 8,3 juta.

Saksi Yehuwa seperti yang disampai oleh orangtua dari salah satu murid yang sekolah di kawasan Sagulung tersebut, mengatakan keyakinan mereka memang tak mengajarkan hormat secara fisik pada bendera suatu negara, meski begitu mereka tetap mengibarkan dan menyimpan dengan baik-baik bendera Merah-Putih.

Hal lainnya, saksi Yehuwa juga menolak untuk meminum minuman beralkohol dan juga memakan daging babi. Mereka juga menolak menerima donor darah dan lebih mencari alternatif lainnya sebagai sumber pengganti darah jika terdapat anggota mereka yang mengalami penyakit tertentu.

Keterlibatan dalam politik juga mereka hindari. Meskit begitu mereka tetap berupaya tunduk pada pemerintah, dalam artian: patuh terhadap hukum, bayar pajak rutin, hingga menuntaskan seluruh persyaratan mendirikan rumah ibadah (via Tirto.id).

Sementara itu persoalan perihal perbedaan mereka dengan umat Kristen, lebih lanjutnya mungkin bisa ditelaah lebih dalam pada link berikut: http://godandscience.org/cults/jwdiff.html

*****

Credit Photo: Latifah Tyas via Pinterest