Bom yang dilepaskan pesawat-pesawat Belanda, meluluhlantakkan sebagian besar daratan Pulau Subi, 76 tahun silam. Bom itu membuat para tentara Jepang kocar-kacir. Lapangan udara Subi, yang dibangun tentara Jepang pun hancur tanpa bentuk.

Penyerangan oleh pasukan udara Belanda itu membumbui sebagian besar cerita masyarakat Kaupaten Natuna, Kepulauan Riau tentang Pulau Subi. Di masa pendudukan Jepang di Indonesia, Pulau Subi merupakan salah satu pusat pertahanan udara Jepang di Indonesia, khususnya di bagian utara.

Pulau Subi berada di sebelah tenggara Pulau Bunguran (Ranai) dan sebelah utara Pulau Serasan. Jarak antara Pulau Subi dengan Ranai sekitar 70 mil dan Pulau Serasan dengan Pulau Subi sekitar 35 mil. Pulau Subi juga berbatasan langsung dengan negara Malaysia bagian Timur.

Pulau Subi dapat di tempuh perjalanan dari pusat kabupaten Natuna sekitar 7 jam menggunakan kapal pompong nelayan. Sementara menuju Kalimantan sekitar 17 jam,. Perjalanan laut menuju Sematan, Malaysia, sekitar 8 jam. Sedangkan perjalanan laut menuju Tanjungpinang, Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau sekitar dua hari.

Pulau Subi terdiri dari Subi Besar dan Subi Kecil. Di antara dua pulau itu, terdapat Selat Nasi, yang memanjang lurus dari timur ke barat, selebar 150 meteran. Jika air laut sedang surut, selat ini tak lebih besar dari sungai.

Pulau Subi Besar dan Subi Kecil

Saat bekas Kewedanan Pulau Tujuh masih berstatus District, Pulau Subi dimasukkan dalam satu wilayah dengan Onderdistrict Serasan yang dikepalai seorang Amir (camat). Saat ini, Subi ditetapkan menjadi Kecamatan Subi yang menjadi bagian dari Kabupaten Natuna.

Pulau Subi ini menjadi salah satu pulau incaran pemerintah Jepang di Indonesia, karena dianggap strategis, berhadapan langsung dengan Laut China Selatan. Jika Pulau Subi dijadikan pusat pertahanan udara, maka di Tarempa menjadi pusat kekuatan Jepang untuk korps marinir dan pasukan Jutai.

Kerja Paksa dan Kekalahan Jepang
Sejumlah literatur menyebutkan, lapangan udara Subi dibangun tentara Jepang awal 1942, dengan cara mempekerja-paksakan (rodi) kurang lebih 600 orang. Lapangan Subi dengan landasar pacu sekitar 1 kilomter itu, hanya sebentar digunakan Jepang, lantaran terlanjur dipaksa keluar oleh pasukan Belanda.

Dalam catatan Wan Tarhusin, tokoh masyarakat di Natuna dalam bukunya, Imbas Perang Pasific di Kepulauan Anambas-Natuna, pembangunan lapangan udara Subi dikerjakan dengan tumpahan darah, keringat dan air mata warga sekitar. Jepang membagi para pekerja menjadi beberapa kelompok. Ada kelompok kerja Ranai, Serasan, Midai, Sedanau dan lainnya.

Setiap kelompok, diketuai seorang mandor dan di bawah pantauan 3 orang pegawas dari tentara Jepang yakni Tanit-Chi, Chika dan Yama-Guchi. Ketiga pengawas ini dikenal sangat keras dan kerap menyiksa para pekerja, meski hanya hal sepele.

Selama pembangunan lapangan udara Subi itu, Jepang menerapkan kerja paksa mulai pukul 05.00 sampai 06.00. Selain lapangan udara, para pekerja juga diperintahkan membuat barak militer, kelong dan lainnya.

Setelah 6 bulan, lapangan udara tersebut selesai. Satu per satu, pesawat tempur Jepang mulai berdatangan. Kebanyakan dari Singapura, yang transit melalui Kuching, (Malaysia Timur). Dari Subi, banyak pula pesawat Jepang yang terbang ke Tokyo.

Kemudian, ketika Jepang kalah dalam perang dunia, pasukan Belanda dibantu sekutunya mulai menjelajah ke Kepulauan Natuna, hingga tiba ke Ranai. Mendengar kabar itu, tentara Jepang diam-diam mulai bergerak meninggalkan Pulau Subi. Sialnya, pada gelombang terakhir kepergian tentara Jepang, pergerakan mereka terdeteksi oleh pasukan udara Belanda, yang tengah melintas di atas Pulau Subi.

Kota Hiroshima hancur setelah dibom atom oleh Amerika Serikat, yang menandai kekalahan Jepang pada perang dunia. Foto/net

Tanpa basa-basi, pesawat-pesawat Belanda dan sekutunya langsung memborbardir tentara Jepang dengan bom dari udara. Bom-bom itu bukan hanya menimbulkan banyak korban dari tentara Jepang, namun juga merusak lansdcape Pulau Subi, termasuk lapangan udara Subi.

Pasukan Belanda berhasil merangsek dan menyudutkan tentara Jepang. Di catatan Wan Tarhusin itu diceritakan, beberapa pimpinan tentara Jepang kemudian menemui Datuk Kaya Pulau Subi. Mereka meminta bantuan agar dapat keluar dari Pulau Subi tanpa diketahui pasukan Belanda.

Masyarakat Subi lantas meminjamkan songkok (kopiah) kepada para tentara Jepang yang tersisa. Penyamaran sebagai orang Melayu Subi itu yang kemudian menyelamatkan mereka, hingga berhasil keluar dari Pulau Subi saat malam hari.

Dari Pulau Subi, para tentara Jepang itu menuju tempat/pulau yang tidak disebutkan namanya. Mereka mengarungi laut dengan sampan-sampan kecil milik warga setempat. Sampai akhirnya, Pulau Subi bersih dari tentara Jepang.

Bagaimana dengan lapangan udara Subi? Hingga kini, lapangan udara itu hanya menyisakan puing-puing dan beberapa tiang besi. Pohon-pohon dan rerumputan liar sudah memenuhi nyaris seluruh lapangan.

Lapangan udara Subi merupakan satu-satunya pembangunan peninggalan masa penjajahan Jepang di kawasan tersebut. Meski demikian, Pulau Subi sudah masuk dalam catatan sejarah dunia.

Saat ini, lapangan udara Subi menjadi salah satu aset TNI Angkatan Udara republik Indonesia. Berdasar Skep Kepala Staf Angkatan Perang RI tahun 1950 dan peta bidang tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Natuna tanggal 22 April 2013, tanah seluas 241.673 M2 yang terdapat di Kecamatan Subi menjadi tanah negara yaitu Kementerian Pertahanan atau TNI AU. Kawasan tersebut masuk dalam area perawatan Lanud Ranai.

Kapal Pecah

Sekitar 24 tahun dari penyerangan udara pasukan Belanda terhadap tentara Jepang di Pulau Subi, terdapat satu peristiwa yang mengagetkan dunia internasional. Sebuah kapal asing dengan nama Pathol Salam, pecah di depan Pulau Subi, 13 Desember 1966 sekira pukul 13.00.

Kapal yang belum diketahui pemiliknya itu pecah dihantam gelombang. Setelah 9 jam bertahan di laut, kapal itu akhirnya dapat ditarik mendekat ke Pulau Subi. Catatan peristiwa ini, tersimpan di arsip nasional di Jakarta.

Kisah lain menyebutkan, kapal Pathol Salam itu kandas usai menabrak tanah Busut, sepetak karang yang menonjol di laut Subi. Kisah ini melekat erat pada tokoh Datuk Kaya di Pulau Tujuh yang dijuluko Tokong. Julukan tersebut diberikan kepada seorang pemimpin pemimpin yang mengendalikan pemerintah di wilayah terkecil, yang diberi hak oleh Sultan Riau sesuai dengan ketentuan Yayasan Adat.

Selain gelar yang diberikan dalam pembagian wilayah Datuk Kaya Pulau Tujuh, ada pula gelar-gelar lain. Di antaranya, untuk wilayah Pulau Siantan diberikan kepada Pangeran Paku Negara dan Orang Kaya Dewa Perkasa, wilayah Pulau Jemaja diberikan kepada Orang Kaya Maha Raja Desa dan Orang Kaya Lela Pahlawan.

Kemudian, untuk wilayah Pulau Bunguran diberikan kepada Orang Kaya Dana Mahkota, dua orang Penghulu dan satu orang Amar Diraja. Sedangkan wilayah Pulau Subi diberikan kepada Orang Kaya Indra Pahlawan dan Orang Kaya Indra Mahkota.

Gelar dan pembagian wilayah lainnya adalah, wilayah Pulau Serasan kepada Orang Kaya Raja Setia dan Orang Setia Raja. Wilayah Pulau Laut diberikan kepada Orang Kaya Tadbir Raja dan Penghulu Hamba Diraja. lalu, wilayah Pulau Tambelan diberikan kepada Petinggi dan Orang Kaya Maharaja Lela Setia.

Orang-orang besar itulah yang pada zaman dahulu memerintah di wilayah Pulau Tujuh dengan masing-masing wilayah secara turun temurun, sampai pada akhir kekuasaannya. Keberadaan para pemegang wilayah itu kemudian dipecah pemerintah Hindia Belanda yang ingin ikut mencampuri urusan pemerintahan di Pulau Tujuh, dengan menerapkan devide et impera.

Yuri B Trisna
Dari berbagai sumber